đŸ« Pandangan Ulama Tentang Demokrasi

MuhammadZukhrufus Surur, “Demokrasi Dalam Surat Ali Imran Ayat ”. Penelitian ini membahas tentang interpretasi Abdullah Saeed atas teks-teks tentang etika-hukum dalam Alquran, salah satu di antaranya yang dipilih peneliti adalah tema mengenai politik, yakni syura (musyawarah). Interpretasi yang Yaituterdiri dari dua kata; Pertama: Demos, artinya, khalayak manusia, atau rakyat. Kedua; Kratia, artinya hukum. Maka maknanya menjadi hukum rakyat. Kedua: Demokrasi merupakan system yang bertentangan dengan Islam. Karena system ini meletakkan rakyat sebagai sumber hukum atau orang-orang yang mewakilinya (seperti anggota parlemen). skripsiini selain meneliti mengenai pandangan pemikiran keduanya yang berbeda, penulis juga akan meneliti persamaan dari kedua tersebut.Kedua tokoh ini adalah Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dan Abdurrahman Wahid. 2. Alasan Subjektif a. Kajian tentang konsep khilafah dalam pandangan Taqiyuddin An 0008:04 - Lanjutan tentang islam dan demokrasi 3.3. 00:08:04 - Lanjutan tentang islam dan demokrasi 3.3. Listen Later. Keßfedin. Real-Time. ƞu anda oynatılan bölĂŒmler. Explorer. Benzer podcast'leri bulun. En iyi Podcastler. Bizim tarafımızdan tavsiye. PopĂŒler Podcastler AlQur'an (pexels.com) AKURAT.CO, Demokrasi merupakan sistem yang mulanya lahir dari Barat. Meskipun secara praktik sebetulnya Nabi dan para sahabatnya telah mempraktikkan demokrasi dalam masa kepemimpinanya, seperti menerapkan konsep musyawarah dan berlaku adil. Oleh sebab demikian dalam Al-Qur'an banyak disebut ayat-ayat B Alasan Mengapa Biografi Ulama Hadits di Tulis. Nilai suatu hadits, sangat dipengaruhi oleh hal-hal, sifat-sifat, tingkah laku, biografi, mazhab-mazhab yang dianutnya dan cara-cara menerima dan menyampaikan hadits dari para rawi. Mengetahui hal-hal tersebut, perlu sekali dan memberi faedah yang sangat berguna. MengkritisiPendapat tentang Netralitas Ajaran Islam Eksplorasi April 28, 2021. Ia adalah wahyu Tuhan yang wajib diikuti sesuai keyakinan. Sementara demokrasi hanya model atau sistem di dalam bernegara. Normanya lahir secara horizontal.” Dosen Monash University Australia yang juga Rais Syuriah Nahdatul Ulama (NU) cabang istimewa Demokrasimemberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat. Namun demikian, dalam pandangan para ulama/cendekiawan muslim tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan utama, yaitu; pertama menolak sepenuhnya, dan kedua menerima dengan syarat tertentu. Berikut pandangan para ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut. 1. Abul A’la Al-Maududi NahdlatulUlama Abdoel Kahar Moezakir (1907–1973) Islam Muhammadiyah gagasan demokrasi terpimpinnya.[60] Pada 19 Februari, Kabinet Djuanda menyetujui secara bulat "Putusan Dewan Menteri mengenai Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam Rangka Kembali ke UUD 1945". Pandangan militer mengenai Piagam Jakarta sendiri terpecah. Abdul Haris . Wafatnya Rasulullah sontak membuat para sahabat bertanya-tanya tentang siapa pemimpin umat Islam ke depan. Langkah sigap diambil oleh Umar bin Khattab merespons pertemuan tertutup petinggi Anshar di pekarangan Tsaqifah bani Sa’idah. Mereka menunjuk Sa’d bin Ubadah w. 636M yang dahulu adalah pemimpin suku Khazraj di Madinah untuk menjadi pemimpin pasca wafatnya Rasulullah. Mendengar hal itu, Umar gusar dan serta merta menarik Abu Bakar dari kerumunan ta’ziyah Rasulullah untuk menghentikan pertemuan Tsaqifah. Umar dan Abu Bakar mendatangi mereka dan meminta agar tidak meneruskan pembahasan itu kecuali di majelis yang tepat dan bukan di pekarangan seperti ini. Mereka menolak permintaan Umar dan meminta agar kalau tidak setuju dengan pengangkatan Sa’d bin Ubadah, maka biarkan Anshar punya pemimpin sendiri dan Muhajirin punya pemimpin sendiri. Umar pun marah, “Tidak mungkin satu pedang dimasukkan ke dalam dua selongsong!” Umat Islam satu dan pemimpinnya juga satu. Umar lantas mengajak berbaiat kepada Abu Bakar yang kemudian diikuti oleh yang lain hingga akhirnya pengangkatan Abu Bakar tidak terbendung. Pengangkatan Abu Bakar yang mendadak mengundang reaksi dan friksi di kalangan sahabat. Atau setidaknya di kemudian hari ada yang mempermasalahkan karena ada banyak sahabat yang pernah menyaksikan Rasulullah di lembah Ghadir Khum berkata, “Barang siapa yang aku adalah junjungannya mawla, maka Ali adalah junjungannya”. Hadits sahih ini menjadi dasar pandangan kepemimpinan jatuh ke Ali bin Abi Talib bukan ke Abu Bakar. Mereka juga berpandangan bahwa kepemimpinan Islam untuk selanjutnya ada di tangan Ahlul Bait sebagai pewaris ismah rasulillah. Pandangan ini dianut oleh kelompok Syiah sedangkan yang menerima kepemimpinan Abu Bakar disebut dengan Sunni atau Ahlussunnah wal Jama’ah. Kelompok Syiah yang menetapkan kepemimpinan secara genetik di kemudian hari, di masa kini, membentuk negara Iran dengan sistem republik yang menunjuk pemimpin lewat pemilu, artinya demokratis. Sementara di kalangan Sunni berlaku sistem monarki yang mewariskan kepemimpinan kepada anak raja tanpa melalui prosedur pemilu. Sebuah anomali yang menarik. Meski banyak berlaku sistem republik di negara-negara mayoritas Sunni kini, setidaknya dahulu mereka semua mengikuti sistem kerajaan dan masih tersisa beberapa hingga kini seperti Arab Saudi, beberapa negara teluk dan di Asia Tenggara. Kelompok Sunni yang mendukung legalitas kepemimpinan Abu Bakar dan Khulafaurrasyidin berdasarkan baiat oleh rakyat atau penetapan oleh dewan terpercaya Ahlul hill wal aqd yang “republik demokratis”, semenjak kekuasaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan w. 680M kepemimpinan tidak lagi melalui pemilihan tetapi pewarisan raja kepada anak. Sementara Syiah yang semula melalui pewarisan Ahlul Bait hingga imam ke-11, kini di era modern melalui pemilihan umum untuk kepala pemerintahan presiden sedangkan kepala negara dan pemimpin agama tertinggi dipilih oleh dewan ulama. Kepemimpinan apakah ditentukan secara genetik ahlul bait seperti konsep Syiah, atau pilihan rakyat menjadi bahan perdebatan. Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa kepemimpinan ditentukan oleh lembaga berwenang ahlus syaukah yang dengan mandatnya sang terpilih memiliki kapasitas qudrah dan kekuasaan sultan yang wajib ditaati oleh rakyat. Pandangan ini sejalan dengan demokrasi yang mengharuskan keberadaan lembaga berwenang untuk mengangkat pemimpin. Dukungan harus dari mayoritas tokoh bukan dari kelompok pendukungnya semata, kata Anwar Qasim al-Khudari dalam Contoh dukungan mayoritas adalah pengangkatan Umar bin Khattab. Abstainnya Sa’d bin Ubadah tidak menggugurkan legalitas Umar karena sudah terpenuhi dukungan mayoritas. Ibnu Taimiyah tidak mempermasalahkan sistem kerajaan karena hal itu pewarisan didukung oleh mayoritas tokoh masyarakat atau ulama dan bukan sekadar kelompok loyalis semata al-muwalun. Sebab jika demikian dia kehilangan kapasitas memimpin. Bagi orang Syiah, pewarisan tahta hanya untuk Ahlul Bait bukan untuk penguasa yang mampu menaklukkan lawan politik dan menundukkan rakyat di bawah kekuasaannya. Apa yang dilakukan oleh Mu’awiyah dengan mengawali pewarisan tahta kepada Yazid anaknya dan memulai monarkisme dalam Islam, tertolak dengan sendirinya. Selain bukan dari Ahlul Bait yang berhak atas kepemimpinan umat Islam, dia juga mengabaikan aspek prosedur musyawarah dalam pengangkatan pemimpin. Masalah kepemimpinan adalah masalah klasik umat Islam. Di era modern ia diatasi dengan demokrasi yang intinya adalah mengatur perkara kepemimpinan. Bagi Fahmi Huwaidi, penulis buku al-Islam wad Dimokatiyyah asal Mesir, demokrasi adalah keharusan dalam menata kehidupan kini. Inti atau padanan dari demokrasi adalah musyawarah yang diperintahkan oleh Islam. Sebagaimana kita tidak bisa hidup tegak tanpa Islam, pengelolaan kehidupan gagal tanpa demokrasi bighayr Islam tuzhaq ruh ummah, bighayr dimuqratiyyah tuhbatu amaluha. Demokrasi adalah keharusan ma’lumun bid darurat, kata Huwaydi dalam pengantar bukunya. Penolakan terhadap demokrasi lantaran menganggapnya ideologi yang menjadikan manusia tunduk pada keputusan manusia dan bukan pada keputusan Tuhan. Oleh Yusuf al-Qardawi, pemimpin ulama dunia dan pemuka Ikhwanul Muslimun, anggapan itu diluruskan tidak tepat membandingkan keputusan manusia dengan Tuhan. Yang tepat adalah membandingkan keputusan pemimpin demokratis dengan pemimpin otoriter. Siapa pun Muslim tidak boleh melanggar perintah agama. Demokrasi Islam tidak untuk menghalalkan yang jelas-jelas dilarang agama tetapi untuk mengatasi masalah dan mengelola kehidupan melalui musyawarah bersama. Masalah kehidupan 90 persen lebih adalah perkara ijtihadiyah yang melibatkan banyak pihak. Untuk itu demokrasi menjadi niscaya karena ia memberi ruang bagi semua untuk terlibat. Demokrasi mengatur proses pergantian kepemimpinan secara damai dan menjadikan yang terpilih tunduk pada pengawasan. Keduanya tidak hanya maslahat tetapi juga sesuai perintah agama. Keberadaan parlemen yang merepresentasikan rakyat yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu tidaklah berbeda dengan Ahlul Hill wal Aqd di zaman sahabat. Saat khalifah Umar sakit, dia menunjuk 6 orang untuk bermusyawarah dalam penentuan penggantinya kelak. Penunjukan saat itu mungkin dan pada zaman dahulu mungkin karena jumlah manusia sedikit dan mereka saling kenal dan hafal kualitas satu sama lain. Sedangkan sekarang, penunjukan tidak mungkin karena tidak tampak siapa yang paling unggul secara ilmu dan moralitas. Untuk itu pemasrahan lewat pemilu adalah prosedur yang bisa diterima. Demikian juga dengan pembatasan kepemimpinan dalam 2 periode juga sesuai dengan asas maslahah. Tidak ada dalam Al-Qur’an dan hadits yang menetapkan lama masa kepemimpinan. Dengan demikian ia perkara yang dasarnya adalah boleh al-asl fi al-ashya al-ibahah. Ia bukan perkara tawqifi meski baik Nabi maupun Khulafaurrasyidin memimpin seumur hidup. Apa yang berlaku saat itu sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Secara khusus, kepemimpinan Rasulullah tidak bisa disamakan dengan yang lain. Beliau adalah nabi utusan Allah yang tidak mungkin diganti oleh yang lain dalam memimpin umat Islam. Sepanjang hidupnya selalu menjadi imam shalat kecuali saat sakit di akhir hayatnya diganti oleh Abu Bakar atas permintaan beliau. Maka kepemimpinan beliau hingga akhir hayat ada kaitannya dengan posisi beliau sebagai utusan Allah dan penerima wahyu sepanjang hidup. Berbeda dari kepemimpinan urusan duniawi yang bisa dibatasi, diubah, diperpanjang, dan dipersingkat sesuai kebutuhan dan kesepakatan. Pembatasan masa berkuasa adalah tepat sesuai kaidah masalih mursalah dan kebanyakan perkara politik ada di bawah kaidah itu. Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya Abstrak Kajian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana demokrasi dalan tinjauan Islam khususnya dalam kajian tafsir maudhu'i. Dengan menggunakan pendekatan studi pustaka library research, artikel ini berusaha mempertemukan antara konsep Islam yang oleh sebagian ulama dikatakan mempunyai sistem politik tersendiri yang lengkap, sempurna dan menyeluruh, namun disatu sisi dihadapkan pada kenyataan seolah sistem demokrasi yang saat ini dianggap sebagai sistem politik terbaik, diterima dan dipakai di seluruh dunia. Secara normatif doktriner, dalam ajaran Islam terdapat prinsip-prinsip dan elemen dalam demokrasi, meskipun secara generik, global tidak sepenuhnya disetujui para ulama dan masih menjadi perdebatan yang panjang. Prinsip dan elemen-elemen demokrasi dalam ajaran Islam itu adalah as-syura, al-'adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Realitas dalam sebuah negara pernah diterapkan pada masa Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin adalah syumuliyatul Islam dan demokrasi hanyalah sebagian kecil dari lengkapnya sistem politik Islam yang sempurna dan telah dipraktikkan namun tebum terteorikan. Abstract This article aims to analyze how democracy in Islamic views, especially in the study of tafsir maudhu'i. By using a library research approach, this article seeks to bring together the concept of Islam which is said by some scholars to have its own complete, perfect and comprehensive political system, but on the one hand it is faced with the reality as if the democratic system is currently considered the best political system. , accepted and used throughout the world. In doctrinaire normative terms, in Islamic teachings there are principles and elements in democracy, although generically, globally it is not fully approved by the scholars and is still a long debate. The principles and elements of democracy in Islamic teachings are as-shura, al-'adalah, al-amanah, al-masuliyyah and al-hurriyyah. The reality in a country that was applied at the time of Prophet Muhammad and khulafaurrasyidin is syumuliyatul Islam and democracy is only a small part of the complete Islamic political system that is perfect and has been practiced but can be theoretical. Pendahuluan Wacana demokrasi terus bergulir, ia pun seakan menjadi 'juru selamat' bagi ketidakberdayaan rakyat yang tereksploitasi oleh rezim yang totaliter dan represif. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Demokrasi Dalam Islam Tinjauan Tafsir Maudhu’ Achmad Zulham dan SolihinPascasarjana Prodi IQT Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Raden FatahPalembang. Email Kajian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana demokrasi dalan tinjauanIslam khususnya dalam kajian tafsir maudhu’i. Dengan menggunakan pendekatan studipustaka library research, artikel ini berusaha mempertemukan antara konsep Islamyang oleh sebagian ulama dikatakan mempunyai sistem politik tersendiri yang lengkap,sempurna dan menyeluruh, namun disatu sisi dihadapkan pada kenyataan seolah sistemdemokrasi yang saat ini dianggap sebagai sistem politik terbaik, diterima dan dipakai diseluruh dunia. Secara normatif doktriner, dalam ajaran Islam terdapat prinsip-prinsipdan elemen dalam demokrasi, meskipun secara generik, global tidak sepenuhnyadisetujui para ulama dan masih menjadi perdebatan yang panjang. Prinsip dan elemen-elemen demokrasi dalam ajaran Islam itu adalah as-syura, al-adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Realitas dalam sebuah negara pernah diterapkan padamasa Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin adalah syumuliyatul Islam dan demokrasihanyalah sebagian kecil dari lengkapnya sistem politik Islam yang sempurna dan telahdipraktikkan namun tebum terteorikan. Kata kunci Demokrasi Islam, Tafsir Maudhu’i Abstract This article aims to analyze how democracy in Islamic views, especially in thestudy of tafsir maudhu'i. By using a library research approach, this article seeks to bringtogether the concept of Islam which is said by some scholars to have its own complete,perfect and comprehensive political system, but on the one hand it is faced with thereality as if the democratic system is currently considered the best political system. ,accepted and used throughout the world. In doctrinaire normative terms, in Islamicteachings there are principles and elements in democracy, although generically, globallyit is not fully approved by the scholars and is still a long debate. The principles andelements of democracy in Islamic teachings are as-shura, al-'adalah, al-amanah, al-masuliyyah and al-hurriyyah. The reality in a country that was applied at the time ofProphet Muhammad and khulafaurrasyidin is syumuliyatul Islam and democracy is onlya small part of the complete Islamic political system that is perfect and has beenpracticed but can be Islamic Democrazy, Tafsir Maudhu’iPendahuluanWacana demokrasi terus bergulir, ia pun seakan menjadi juru selamat’ bagiketidakberdayaan rakyat yang tereksploitasi oleh rezim yang totaliter dan Demokrasi tidak hanya menjadi wacana akademis, tetapi juga simbol dari sebuah sistempemerintahan, termasuk ketika terjadi tragedi kemanusiaan yang menimpa gedungkembar WTC dan Pentagon, 11 September 2001 lalu. Menurut presiden George W. Bush,tragedi tersebut dianggap sebagai upaya penghancuran demokrasi. Karena iamenganggap bahwa Amerika-lah representasi negara demokrasi di dunia. Dengandemikian, siapa pun yang mencoba mengganggu dan apalagi berani menghancurkanAmerika, berarti mereka penentang demokrasi yang harus dilawan dan dibasmi. Tanpademokrasi memang, suatu rezim sekuat apa pun sulit untuk memperoleh legitimasi darirakyat, bila hal ini terjadi maka sebuah negara tak akan mampu menggerakkan rodapemerintahannya. Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia,partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sinikemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite persamaan, equalitykeadilan, liberty kebebasan, human right hak asasi manusia dan seterusnya. Dalamtradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadipemerintah’ bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yangbertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di duniaBarat menganggap sebagai pioner dan garda terdepan demokrasi. Lembaga legislatifbenar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dandistributif. Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkinsemua rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalubesar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini lantas prinsipamanah dan tanggung jawab credible and accountable menjadi keharusan bagi setiapanggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikanhak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunyaperwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah. Dalam pandangan Islam sebagai agama yang lengkap dan sempurna, meletakkandemokrasi hanyalah sebuah sebuah sistem ciptaan manusia, yang menjadi bagian kecildari lengkapnya dan luasnya sistem Islam. Jika sesuai dengan nilai-nilai Islam maka itubagian yang ada dann telah diajarkan Islam dan silahkan diambil dan Sebaliknya, jika tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, maka sesungguhnya Islam telahmempunyai dan menawarkan pilihan-pilihan yang lebih Terminologi DemokrasiAda banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang demokrasi, diantaranya seperti yang dikutip Hamidah2 adalah sebagaimana di bawah ini MenurutJoseph A. Schumpeter, demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapaikeputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suatu rakyat. Sidney Hook dalam EncyclopaediaAmericana mendefinisikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan di manakeputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung maupun tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakanmereka pada wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsungmelalui kompetisi dan kerja sama dengan wakil mereka yang terpilih. 4 Dari tiga definisitersebut di atas jelaslah bagi kita bahwa demokrasi mengandung nilai-nilai, yaitu adanyaunsur keperacayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat, adanya pertanggungjawaban bagi seorang pemimpin. Sementara menurut Abdurrahman Wahid, demokrasi mengandung dua nilai, yaitunilai yang bersifat pokok dan yang bersifat derivasi. Menurut Abdurrahman Wahid, nilaipokok demokrasi adalah kebebasan, persamaan, musyawarah dan keadilan. Kebebasanartinya kebebasan individu di hadapan kekuasaan negara dan adanya keseimbanganantara hak-hak individu warga negara dan hak kolektif dari NurcholishMajid, seperti yang dikutip Nasaruddin 6mengatakan, bahwa suatu negara disebutdemokratis sejauhmana negara tersebut menjamin hak asasi manusia HAM, antara lain1 Razzaq, A. 2017. Dakwah dan Pemikiran Politik Islam Kajian Teoritis dan NoerFikri Hamidah, Tutik, “Konsep Demokrasi dalam Perspektif Muslim” dalam Majalah El-Harakah,No. 52 Tahun 1999. XVIII, hal. 33. 3 Hamidah, Tutik,”Konsep Demokrasi dalam Perspektif Muslim” dalam Majalah el-Harakah,
 Hamidah, Hamidah, Tutik,”Konsep Demokrasi dalam Perspektif Muslim” dalam Majalah el-Harakah,
 Zainuddin.. “Islam Tak Kompatibel Dengan Demokrasi?” dalam Jaringan Islam Liberal, JawaPos, 10 Februari. 20026 Umar, Nasaruddin. “Demokrasi dan Musyawarah Sebuah Kajian analitis” dalam JurnalKomunikasi Perguruan Tinggi Islam, Perta, Vol. V. No. 12002. Hal. 36. 3 kebebasan menyatakan pendapat, hak berserikat dan berkumpul. Karena demokrasimenolak dektatorianisme, feodalisme dan otoritarianisme. Dalam negara demokrasi,hubungan antara penguasa dan rakyat bukanlah hubungan kekuasaan melainkanberdasarkan hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia HAM. Demokrasi Dalam Perspektif Tafsir Mau’dhu’iDi dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang terkait dengan prinsip-prinsiputama demokrasi, antara lain QS. Ali Imran 159 dan al-Syura 38 yang berbicaratentang musyawarah; al-Maidah 8; al-Syura 15 tentang keadilan; al-Hujurat 13tentang persamaan; al-Nisa’ 58 tentang amanah; Ali Imran 104 tentang kebebasanmengkritik; al-Nisa’ 59, 83 dan al-Syuro 38 tentang kebebasan berpendapat Jikadilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin, agama dan demokrasi memangberbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumpulanpemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namunbegitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengandemokrasi. Sebagaimana dijelaskan di depan, bahwa elemen-elemen pokok demokrasidalam perspektif Islam meliputi as-syura, al-musawah, al-adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Kemudian apakah makna masing-masing dari elementersebut? As-SyuraSyura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secaraeksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura 38“Dan urusan mereka diselesaikan secara musyawarah di antara mereka”. Dalam suratAli Imran159 dinyatakan “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksanasyura adalah ahl halli wa-laqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebihmenyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah, jelaslahbahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawabbersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiapkeputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang7 Umar, Nasaruddin. “Demokrasi dan Musyawarah Sebuah Kajian analitis” dalam JurnalKomunikasi Perguruan Tinggi Islam, hal. 36 dan lihat al-Mu’jam al-Mufahras li alfaz al-Qur’an al-Karim4 lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama. Begitupentingnya arti musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupunbernegara, sehingga Nabi sendiri juga menyerahkan musyawarah kepada umatnya. Al-Adalahal-adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasukrekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil danbijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalamsebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antaralain dalam surat an-Nahl 90 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil danberbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji,kemungkaran dan permusuhan”. Lihat pula, QS. as-Syura15; al-Maidah8; An-Nisa’58dst.. Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil tanpapandang bulu ini, banyak ditegaskan dalam al-Qur’an, bahkan disebutkan sekali punharus menimpa kedua orang tua sendiri dan karib kerabat. Nabi juga menegaskan, ,bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena jika “orang kecil” melanggarpasti dihukum, sementara bila yang melanggar itu “orang besar” maka dibiarkan prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapanyang “ekstrem” berbunyi “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir,sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara yang mengatasnamakanIslam”9 Al-Musawah al-Musawah adalah kesejajaran, egaliter, artinya tidak ada pihak yang merasalebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidakbisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemonipenguasa atas rakyat. Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan8 Lihat Aswab Mahasin dalam Imam Aziz, ed. Agama, Demokrasi dan Keadilan, Jakarta,Gramedia. 1999, hal. 30. Lihat juga Haryono, A., & Razzaq, A. 2017. Analisis Metode Tafsir MuhammadAsh-Shabuni dalam Kitab rawĂąiu’ al-BayĂąn. Wardah, 181, Madani, Malik. “Syura, Sebagai Elemen Penting Demokrasi” dalam Jurnal Khazanah,UNISMA Malang, 1999. hal 12. 5 adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telahdibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyatdemikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikapdan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al- Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat13, sementara dalil Sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalamkhutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim. Dalam hal ini Nabipernah berpesan kepada keluarga Bani Hasyim sebagaimana sabdanya “Wahai BaniHasyim, jangan sampai orang lain datang kepadaku membawa prestasi amal, sementarakalian datang hanya membawa pertalian nasab. Kemuliaan kamu di sisi Allah adalahditentukan oleh kualitas takwanya”. Al-Amanahal-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorangkepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga denganbaik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaanoleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasatanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil. Sehingga Allah dalam surat an-Nisa’ 58 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu supayamenyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamuapabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”.Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisadiminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malahbersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam. Al-Mas’uliyyah al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui, bahwakekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yangharus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harusdipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini memiliki dua pengertian, yaitu amanahyang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus10 Hasan, Tholchah, “Hak Sipil dan Hak Rakyat dalam Wacana Fiqh” dalam Jurnal Khazanah,UNISMA Malang, . 1999. hal. 26. 6 dipertenggungjawabkan di depan Tuhan. Sebagaimana Sabda Nabi Setiap kamu adalahpemimpin dan setiap pemimpin dimintai pertanggung jawabannya. Seperti yangdiakatakn oleh Ibn Taimiyyah11, ’’bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalammengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya”.Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban al-masuliyyah ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat demikian, pemimpin/ penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah penguasa umat, melainkan sebagai khadim al-ummah pelayan umat. Dusdengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalamsetiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umatditinggalkan. Al-Hurriyyah Al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap wargamasyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjanghal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dandalam rangka al-amr bi-l-ma’ruf wa an-nahy an al-munkar, maka tidak ada alasanbagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanyakemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosialbagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, makakezaliman akan semakin merajalela. Patut disimak sabda Nabi yang berbunyi “Barangsiapa yang melihat kemunkaran, maka hendaklah diluruskan dengan tindakan, jika tidakmampu, maka dengan lisan dan jika tidak mampu maka dengan hati, meski yang terakhirini termasuk selemah-lemah iman”. Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dusdengan demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil. Watak ajaran Islam sebagaimana banyak dipahami orang adalah inklusif dandemokratis. Oleh sebab itu doktrin ajaran ini memerlukan aktualisasi dalam kehidupankongkret di masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di duniaIslam dalam sejarahnya? Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriteryang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktik-praktik yang dilakukan oleh11 Madani, Malik. “Syura, Sebagai Elemen Penting Demokrasi” dalam Jurnal Khazanah,UNISMA Malang, 1999. hal 13. 7 sebagian penguasa Bani Abbasiyyah dan Umayyah. Tetapi itu bukan alasan untukmelegitimasi bahwa Islam agama yang tidak demokratis. Karena sebelum itu juga adaeksperimen demokratisasi dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi dankhulafaurrasyidin. Adalah merupakan dalil sosial, bahwa dalam setiap masyarakatterdapat pemimpin dan yang dipimpin, penguasa dan rakyat, serta muncul stratifikasisosial yang berbeda. Demikian pula pada zaman pra-Islam Jahiliyyah muncul kelassosial yang timpang, yaitu kelas elit-penguasa dan kelas bawah yang tertindas. Kelasbawah ini seringkali menjadi ajang penindasan dari kelompok elit. Pada masa jahiliyah kekuasaan dan konsep kebenaran milik kekuasaan dan kebenaran di tangan penguasa tersebut mengakibatkanterjadinya manipulasi nilai untuk memperkuat dan memperkokoh posisi mereka sekaligusmenindas yang lemah. Proses seperti ini berlangsung cukup lama tanpa ada perubahanyang berarti. Dalam kondisi seperti itu, terdapat dua stratifikasi sosial yang berbeda, yaitumaysarakat kelas atas elit yang hegemonik, baik sosial maupun ekonomi bahkankekerasan fisik sekalipun, dan kelas bawah subordinate yang tak berdaya. Demikianlahsetting sosial-politik yang terjadi pada masyarakat Arab Makkah-Madinah seperti kata Guillaume,12 komunitas Yahudilah yang telah mendominasi kekuasaanpolitik dan ekonomi saat itu, hingga kemudian nabi Muhammad datang merombakstruktur masyarakat yang korup tersebut. Nabi hadir membawa sistem kepercayaan alternatif yang egaliter danmembebaskan. Karena ajaran yang disampaikan nabi membawa pesan bahwa segalaketundukan dan kepatuhan hanya diberikan kepada Allah, bukan kepada manusia. Karenakebenaran datang dari Allah, maka kekuasaan yang sebenarnya juga berada padakekuasaan-Nya, bukan kepada raja. Secara empirik kemudian Nabi melakukan gerakanreformasi dengan mengembalikan kekuasaan dari tangan raja kelompok elit kepadakekuasaan Allah melalui sistem musyawarah. Kehadiran Nabi tersebut membawa angin segar bagi “masyarakat baru” yangmendambakan sebuah kondisi sosial masyarakat yang adil dan beradab. Karena apa yangdibawa Nabi sebetulnya sistem ajaran yang menegakkan nilai-nilai sosial persamaanhak, persamaan derajat di antara sesama manusia, kejujuran dan keadilan akhlaqhasanah. Selain itu, sesuai posisinya sebagai pembawa rahmat, Nabi terus berjuangmerombak masyarakat pagan-jahiliyah menuju masyarakat yang beradab, atau dalambahasa al-Qur’an disebut min-’l-Dhulumat ila-’l-Nur lihat QS. Al-Baqarah257, al-12 Guillaume, Alfred. I s l a m, England, Pinguin Books. 1956, hal. 118 Maidah15, al-Hadid 9, al-Thalaq10-11 dan al-Ahzab41-43. Masyarakat Arabsebelum Islam Jahiliyah terdiri dari kabilah-kabilah, setiap kabilah mengembangkanfanatisme ashabiyyat kabilahnya, sehingga diantara mereka terjerumus dalampertentangan, kekecauan politik dan sosial. Diantara mereka tidak mengenal persamaan,tetapi bersaing dan saling mengunggulkan keleompoknya dan terjadi seperti ini kemudian menggugah Nabi Muhammad untuk merubahnya danmengarahkan kepada persamaan dan kesetaraan antar mereka, Sebab persamaan tersebutsejalan dengan kemaslahatan umum yang menjamin hak-hak istemewa diantara mereka, sebab prinsip persamaan dalam Islam adalah pengakuan hak-hak yang sama antara kaummuslimin dan bukan kurang lebih 10 tahun di Madinah Nabi telah melakukan reformasisecara gradual untuk menegakkan Islam, sebagai sebuah agama yang memiliki perhatianbesar terhadap tatanan masyarakat yang ideal. Dan masyarakat yang dibangun Nabi saatitu adalah masyarakat pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama dan seperti yang dikehendaki dalam rumusan piagam Madinah adalahmasyarakat yang memiliki kesatuan kolektif dan ingin menciptakan masyarakat muslimyang berperadaban tinggi, baik dalam konteks relasi antar manusia maupun denganTuhan. Sebagai seorang pemimpin, Nabi memiliki kekuatan moral yang tinggi. Kasihsayang terhadap golongan yang lemah seperti kaum feminis, para janda dan anak-anakyatim menunjukkan komitmen moralnya sebagai seoarang pemimpin umat yang kesempatan pidato terakhirnya di padang Arafah misalnya, beliau berpesankepada para pengikutnya supaya memperlakukan kaum wanita dengan baik dan bersikapramah terhadap mereka. “Surga di bawah telapak kaki ibu”, jawab nabi ketika salahseorang sahabat bertanya tentang jalan pintas masuk surga, Kalimat tersebut diulangsampai tiga kali. Salah satu sifat pemaaf dan toleransi nabi yang luar biasa adalah tampak padakasus Hindun, salah seorang musuh Islam yang dengan dendam kusumatnya tegamemakan hati Hamzah, seoarng paman nabi sendiri dan pahlawan perang yangterhormat. Kala itu orang hampir dapat memastikan bahwa nabi tidak akan pernahmemaafkan seorang Hindun yang keras kepala itu, ternyata tak diduga-duga ketika kota13 Pulungan, Suyuti. Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah. Jakarta, Rajawali Press, 1994. hal. 150. Lihat juga Fikri, M., & Razzaq, A. 2016. Konsep Demokrasi Islam Dalam Pandangan Kuntowijoyo Studi Pada Sejarah Peradaban Islam. Wardah, 161, Makkah berhasil dikuasai oleh orang Islam dan Hindun yang menjadi tawanan perang itupada akhirnya sikap nabi yang begitu mulia tersebut dengan serta merta Hindun sadardan menyatakan masuk Islam seraya menyatakan, bahwa Muhammad memang seorangrasul, bukan manusia biasa. Tidak hanya itu saja, sikap politik nabi yang sangat sulituntuk ditiru oleh seorang pemimpin modern adalah, pemberian amnesti kepada semuaorang yang telah berbuat kesalahan besar dan berlaku kasar kepadanya. Tetapi dengansikap nabi yang legowo dan lemah lembut itu justru membuat mereka tertarik denganIslam. Seperti yang dicatat oleh Akbar S. Ahmed seorang penulis sejarah Islamkenamaan dari Pakistan, bahwa penaklukan Makkah oleh nabi yang hanya menelankorban kurang dari 30 jiwa manusia itu merupakan kemenangan perang yang palingsedikit menelan korban jiwa di dunia dibanding dengan kemenangan beberapa revolusibesar lainnya seperti Perancis, Rusia, Cina dan Hal ini bisa dipahami karena perang dalam perspektif Islam bukan identik denganpenindasan, pembunuhan dan penjarahan, seperti yang dituduhkan sebagian kaumorientalis selama ini, melainkan lebih bersifat mempertahankan diri. Oleh sebab itusecara tegas nabi pernah menyatakan “Harta rampasan perang tidak lebih baik daripada daging bangkai”. Demikian juga larangannya untuk tidak membunuh kaumperempuan, anak-anak dan mereka yang menyerah kalah. Nilai-nilai islami yangtercermin dalam figur nabi yang melampaui batas ikatan primordialisme dansektarianisme memberikan rasa aman dan terlindung bagi masyarakat yang nabi dengan seorang istri dari luar rumpun keluarga, kecintaannya terhadapBilal, seorang budak kulit hitam yang menjadi muazzin pertama Islam dan pidatonyapada kesempatan haji wada’ di Arafah yang menentang pertikaian suku dan kasta telahmembuktikan sikap arif dan bijak kepemimpinannya. Pengalaman demokrasi telahdipraktikkan Nabi dalam memimpin masyarakat Madinah. Dalam hal keteguhanberpegang kepada aturan hukum misalnya, masyarakat Madinah yang dipimpin Nabitelah memberi teladan yang sebaik-baiknya. Sejalan dengan perintah Allah kepada siapapun agar menunaikan amanah yang diterima dan menjalankan hukum dan tata aturanmanusia dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Dimana dengan kepastian hukum14 Ahmad, Akbar S. Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terjemahan Nunding Ramdan Ali Yaqub, Jakarta, Erlangga,1992. 10 tersebut melahirkan rasa aman pada masyarakat, sehingga masing-masing warga dapatmenjalankan tugasnya dengan tenang dan mantap. Karena seperti ungkapan Nurcholis Majid16 kepastian hukum itu pangkal daripaham yang amat teguh, bahwa semua orang adalah sama sawasiyyat dalam kewajibandan hak dalam mahkamah, dan keadilan tegak karena hukum dilaksanakan tanpamembedakan siapa terhukum itu, satu dari yang Kebijakan-kebijakan Nabi dalammemimpin umat di Madinah tertuang dalam Piagam Madinah, yang mengatur kehidupanbermasyarakat dan berbangsa. Piagam Madinah menjadi dasar kehidupan bermasyarakatyang mengatur berbagai persoalan umat, meliputi persatuan dan persaudaraan, hubunganantar umat beragama, perdamaian, persamaan, toleransi, kebebasan dst. Prinsip-prinsiptersbut telah diterapkan Nabi dan berhasil dengan baik, sehingga tercipta suasanakehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berbegara dengan aman dan penuh kedamaiandalam masyarakat yang majmuk, baik ditinjaua dari aspek, agama, etnis maupun budaya. Sampai pada masa khulafaurrasyidin, praktik demokrasi itu masih berlangsungdengan baik, meski ada beberapa kekurangan. Kenyataan ini menunjukkan, bahkwademokratisasi pernah terwujud dalam pemerintahan Islam. Memang harus diakui, pascaNabi dan khulafaurrasyidin karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quoraja-raja Islam demokrasi sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan Mahasin,16 bahwadi beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahanraja-raja yang korup dan otoriter. Tetapi realitas seperti itu ternyata juga dialami oleh pemeluk agama lain. GerejaKatolik misalnya, bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikaptersebut, kemudian agama Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang samaternyata juga dialami oleh agama Kristen Protestan, dimana pada awal munculnya,dengan reformasi Martin Luther, Kristen memihak elit ekonomi, sehingga merugikanposisi kaum tani dan buruh. Tak mengherankan kalau Kristen pun disebut kenyataan sejarah yang dialami oleh elit agama-agama di atas, maka tesisHuntington dan Fukuyama yang mengatakan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam15 Majid, “Hukum dan Keadilan” dalam Jurnal Paramadina, Vol I No. 1 Juli-Desember, 1998, hal. 54. 16 Lihat, Mahasin dalam Imam Aziz, ed. Agama, Demokrasi dan Keadilan, Jakarta, Gramedia. 1999, hal. x-xi, Hefner, Robert W. Civil Islam, Muslim and Democratization ini Indonesia, Princeton University Press, 2000, 4-5. Lihat juga Razzaq, A., & Saputra, D. 2016. Studi Analisis Komparatif Antara Ta’wil dan Hermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an. Wardah, 172, 89-114. 11 tidak kompatibel dengan demokrasi” adalah tidak sepenuhnya benar. Bahkan Huntingtonmengidentikkan demokrasi dengan The Western Christian Connection17 Mengikutiperspektif Akbar S. Ahmed, dengan menggunakan paradigama tipologi, maka dalamsejarah Islam terdapat dua tipe, ideal dan non-ideal. Tipe ideal bersumber dari kitab sucidan kehidupan Nabi sirah Nabawiyah, sunnah.18 Tipe ideal adalah tipe yang palingabadi dan taat azaz konsisten. Sejarah Islam sosial umat Islam mengandung banyakbukti yang menunjukkan adanya hubungan dinamis antara masyarakat dengan upaya paraulama’ dan para intelektual Muslim untuk mencapai model ideal. Wawasan dan tipe idealtersebut membuka peluang timbulnya dinamika dalam masyarakat Muslim. Ketika dalamproses pergumulan sejarahnya inilah umat Islam menghadapi tantangan yang berat dankerapkali jauh dari wilayah yang ideal tadi. Itulah maka ada term Islam ideal dan Islamhistoris. Dengan demikian, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnyamenyangkut soal persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara, penegakanmusyawarah, keadilan, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktikdemokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di atas, seiring dengan kompleksitasproblem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah menyangkutkomitmen dan moralitas sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian, memperhatikanrelasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial menyangkut banyakvariabel, termasuk variabel independen non-agama. Sementara itu Bahtiar Effendymenegaskan, bahwa kurangnya pengalaman demokrasi di sebagian besar negara Islamtidak ada hubungannya dengan dimensi “interior” ajaran Secara teologis menurutEffendy, bahwa kegagalan banyak negara Islam untuk mengembangkan mekanismepolitik yang demokratis antara lain karena adanya pandangan yang legalistik danformalistik dalam melihat hubungan antara Islam dan politik. Oleh karenanya menurutEffendy perlu pendekatan substansialistik terhadap ajaran Islam agar dapat mendorongterciptanya sebuah sintesa yang memungkinkan antara Islam dan demokrasi. 17 Lihat, Mahasin dalam Imam Aziz, ed. Agama, Demokrasi dan Keadilan,
hal. x-xi18 Ahmad, Akbar S.. Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terjemahan Nunding Ramdan Ali Yaqub, Jakarta, Erlangga, 1992, hal. 3-4. Lihat juga Baiti, R., & Razzaq, A. 2018. Esensi WahyuDan Ilmu Pengetahuan. Wardah, 182, Bahtiar Effendy, “Islam dan Demokrasi Mencari Sebuah Sintesa Yang Memungkinkan” dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher eds., Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta, 1996, Mizan, hal. PenutupDari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa secara normatif doktriner,dalam ajaran Islam terdapat prinsip-prinsip dan elemen dalam demokrasi, meskipunsecara generik, global. Prinsip dan elemen-elemen demokrasi dalam ajara Islam ituadalah as-syura, al-adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Realitasdemokrasi dalam sebuah negara pernah diterapkan pada masa Nabi Muhammad dankhulafaurrasyidin. Tetapi setelah itu, pada sebagian besar negara-negara Islam tidakmewarisi nilai-nilai demokrasi tersebut. Realitas ini tidak hanya terjadi pada negara-negara Islam saja, tetapi juga negara non-Islam Barat. Inilah problem yang dihadapioleh banyak negara. Secara umum nilai-nilai agama memang belum banyak dipraktikkandalam ikut memberikan kontribusi pada banyak negara, apalagi negara sekular. Olehsebab itu statement Fukuyama maupun Huntington, yang mengatakan bahwa secaraempirik Islam tidak compatible dengan demokrasi tidak sepenuhnya benar. Sebab dinegara non-Muslim pun demokrasi juga tidak sepenuhnya diterapkan. Daftar PustakaAhmad, Akbar S. 1992. Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terjemahanNunding Ram dan Ali Yaqub, Jakarta, Erlangga. Aswab Mahasin 1999, dalam Imam Aziz, ed. Agama, Demokrasi dan Keadilan,Jakarta, Gramedia. Baiti, R., & Razzaq, A. 2018. Esensi Wahyu Dan Ilmu Pengetahuan. Wardah, 182, Bahtiar. 1996. “Islam dan Demokrasi Mencari Sebuah Sintesa YangMemungkinkan” dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher eds., Agama danDialog Antar Peradaban, Jakarta M., & Razzaq, A. 2016. Konsep Demokrasi Islam Dalam PandanganKuntowijoyo Studi Pada Sejarah Peradaban Islam. Wardah, 161, Alfred. 1956. I s l a m, England, Pinguin Tutik. 1999. “Konsep Demokrasi dalam Perspektif Muslim” dalam MajalahEl-Harakah, No. 52. A., & Razzaq, A. 2017. Analisis Metode Tafsir Muhammad Ash-Shabunidalam Kitab rawĂąiu’ al-BayĂąn. Wardah, 181, Hasan, Tholchah, 1999. “Hak Sipil dan Hak Rakyat dalam Wacana Fiqh” dalam JurnalKhazanah, UNISMA Malang. Madani, Malik. 1999. “Syura, Sebagai Elemen Penting Demokrasi” dalam JurnalKhazanah, UNISMA Malang. Majid, 1998. “Hukum dan Keadilan” dalam Jurnal Paramadina, Vol I No. 1 Juli-Desember. Pulungan, Suyuti. 1994. Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Rajawali A., & Saputra, D. 2016. Studi Analisis Komparatif Antara Ta’wil danHermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an. Wardah, 172, A. 2017. Dakwah dan Pemikiran Politik Islam Kajian Teoritis dan Empiris. Palembang NoerFikri Nasaruddin. 2002. “Demokrasi dan Musyawarah Sebuah Kajian analitis”dalam Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam, Perta, Vol. V. No. 1. Zainuddin. 2002. “Islam Tak Kompatibel Dengan Demokrasi?” dalam Jaringan IslamLiberal, Jawa Pos, 10 ... Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan persamaan hukum Mujiwati, 2016. Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi pemerintah bagi dirinya sendiri dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab terhadap tugasnya Defrizal et al., 2020. Oleh karena rakyat tidak mungkin mengambil keputusan karena jumlah terlalu besar maka dibentuklah dewan perwakilan rakyat Ratu, 2017. ...Turham AGDemocracy is a must to be practiced in the educational process. As an instrument of glue and unification of the nation at the practical level, education must accommodate broadly democratic principles, the Prophet has set a good example for us, in practice democracy cannot be separated from discussion and dialogue, so that students are not educated to be good at memorizing things. but rather to assess, evaluate critically and be taught how to examine problems and how to understand them. So it is hoped that Islamic education can implement the concept of democracy that is appropriate and in accordance with the goals and philosophy of Islamic education to improve the quality of educational services with quality insight so that it will be able to survive in accordance with the needs of the community without losing the main purpose of Islamic has not been able to resolve any references for this publication. Abstract Kedudukan demokrasi di Indonesia sangatlah penting, terlebih demokrasi dijadikan sebagai cara bukan sebuah tujuan. Tujuan bangsa Indonesia adalah untuk merdeka, dengan cara demokratisasi diharapkan dapat menyamakan derajat dan kedudukan warga negara di muka undang-undang, dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin dan lain-lain. Demokrasi merupakan salah satu ajaran dalam al-Qur'an, terutama pada masalah pemerintahan. All-Qur'an memberikan berbagai macam aturan dan prinsip sebagai landasan demokrasi yang kemudian diimplementasikan di Indonesia. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai pengertian demokrasi, demokrasi di Indonesia, pandangan ulama tentang demokrasi, demokrasi menurut al-Qur'an dan kemudian implementasinya di negara Indonesia. Adapun kesimpulan dari penulisan ini, demokrasi merupakan satu-satunya cara yang paling dekat dengan Islam, tentunya dengan berladasan pada prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur'an. Demokrasi ini dapat mengejawantahkan nilai-nilai Ilahi dalam segala kehidupan, seperti halnya yang telah diterapkan Rasulullah pada masyarakat Madinah yang tercantum dalam piagam Madinah. Sebagaimana negara Indonesia sudah melakukan demokratisasi walaupun belum sepenuhnya sampai tahap akhir.

pandangan ulama tentang demokrasi